Sebuah Resensi : (Soe Hok Gie).. sekali lagi. Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya.


Buku, pesta dan cinta mungkin merupakan hal yang berada tidak jauh dari sekitar kehidupan mahasiswa. Bagaimana pula kah hal tersebut tergambar di alam bangsanya dari sudut pandang seorang Soe Hok Gie, seorang mahasiswa aktivis kampus dan pandangan politiknya pada era tahun 60-an?.

Membaca buku bersampul merah putih pada cover depannya dan cover kuning pada sampul belakangnya ini, mungkin mengingatkan kita pada buku Catatan Seorang Demonstran, judul buku yang juga banyak disinggung dalam buku “Soe Hok Gie sekali lagi” ini, dan jujur saja buku catatan seorang demonstran itu belum pernah saya baca, namun karakter Soe Hok Gie cukup memikat saya dan pastinya para pembaca dan pengagum fanatiknya terhadap tulisan, puisi dan catatan harian sosok ini, apalagi setelah di film kan oleh Riri Riza dan Mira Lesmana dalam film “GIE”. Seorang yang idealis dalam mencatat perasaan, penulis yang punya kedisiplinan dalam memandang sudut pandang sejarah bangsanya dalam pergulatan pemikiran pribadinya. Disamping itu, kekagumannya dan cintanya pada alam dan ilmu pengetahuan mampu membuka sebuah pandangan terbuka pada kita tentang sebuah masa yang selama ini kita kenal lewat sejarah versi pemerintah, namun sentuhan Gie dalam masa mudanya yang penuh tenaga menggairahkan tanpa pamrih dan takut menyelami relung kehidupan bangsanya yang penuh luka pada masa itu.

Buku setebal 500-an halaman ini, terbagi dalam 5 bagian, diawali dengan kisah tragis kematian Gie  di gunung semeru, yang diceritakan oleh Rudi Badil. Di bagian ini banyak bercerita tentang pendakian Gie dan teman-temannya di semeru sampai dengan proses evakuasi jenazah Gie dan Idhan Lubis (mahasiswa dari Tarumanegara yang ikut dalam pendakian ke semeru dan juga meninggal di puncak semeru bersama Gie). Pada bagian kedua bercerita tentang Gie dan dan rasa kecintaannya terhadap alam, kisah Gie dan Semeru sampai dengan ulasan soal pendakian Gunung Pangrango untuk mengantar sisa abu jenazah Hok-Gie dan melayat ke pemakaman  Idhan Lubis di TPU kampung kandang.

Pada bagian ketiga dari buku ini diceritakan tentang Saksi-Saksi dari Rawamangun-Salemba, mengenai sepak terjang Gie di kampus FS-UI, sebagai seorang aktivis kampus dan sikap politiknya terhadap bangsanya, menjadi “pak dosen” pada tahun 1969, bahkan sampai tentang kehidupan pribadi Gie dan percintaannya, dan dalam bagian ini diceritakan juga oleh saksi-saksi Rawamangun bahwa kehidupan Gie dan seputar “cewek-cewek sastra” yang kayaknya amat moralis dan kebanyakan ini-itunya. Mungkin juga pada masa itu, buku harian Gie belum banyak beredar sehingga tidak ada “sepotong” orang pun yang tahu kisah kasihnya. Suatu cerita tentang data dan dokumentasi kejadian 40-an tahun lalu, disamping juga sebagai dokumentasi tentang indahnya, hangatnya dan lekatnya hubungan pertemanan dengan seorang yang bernama Soe Hok Gie di mata teman-temannya, saksi dari Rawamangun-Salemba.. Ya, Soe Hok Gie sekali lagi….

Tulisan dari “The Angry Young Men”, judul dari bagian keempat dari buku ini amat pas menurut saya untuk menggambarkan isi pada bagian ini. Berisi tentang tulisan dari orang-orang yang tidak pernah bertemu langsung dengan Gie dan bahkan lahir, hidup dan besar bukan pada zamannya Gie, namun mengagumi sosok Gie dari tulisan-tulisan, artikel dan catatan-catatan Soe Hok Gie. Dari Riri Riza, sutradara film “GIE”, Nicholas Saputra sampai Mira Lesmana, Hilmar Farid, Stanley Adi Prasetyo, Jopie Lasut serta Ben Anderson menuangkan tulisan mereka pada bagian ini, yang umumnya mereka mengaku semangat Gie dan kisah hidupnya dapat menjadi inspirasi mereka dalam bertindak dan mengambil peran dalam masyarakat. “Jangan memancing perasaan anak-anak muda itu. Mereka itu angkatan the angry young men, bukan crossboys lagi, bukan hippies juga.” Kurang lebih begitulah ucapan Gie, terutama ketika pemuda yang sering secara ekstrim disebut crossboys atau hippies dari flower generation menjadi pendemo angkatan 66.         
Dan, buku ini akhirnya berakhir pada bagian kelima yang berisi Karangan dari Kamar Suram Bernyamuk. Berisi tentang tulisan-tulisan dan artikel-artikel pilihan dari Soe Hok Gie yang pernah diterbitkan. Dari kamar yang bersinar lampu suram itulah (karena pada tahun 1960-an itulah voltase listrik Jakarta pada malam hari selalu rendah), Hok Gie membuat artikel-artikel dan tulisan serta catatan pribadinya yang amat berpengaruh. Meskipun dengan penerangan yang remang-remang dan banyak nyamuk, namun dari kamar itulah suara hentakan mesin ketik dan rautan tulisan tangan Gie melahirkan berbagai tulisan yang amat berpengaruh dan menginspirasi bahkan hingga kini.

Soe Hok Gie mungkin bisa menjadi bahan inspirasi dan pengaruh pada kita, sebagai seorang mahasiswa aktivis kampus, dia bukan saja loyal terhadap kritikan terhadap isu-isu yang berkembang terhadap bangsanya, bahkan hal seputar kampusnya dan dosen-dosennya juga tak luput dari tulisan dan kritikannya semuanya demi perbaikan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana dalam tulisannya yang berjudul “Kenang-Kenangan Bekas Mahasiswa: Dosen-dosen juga perlu dikontrol”, mungkin bisa menjadi tamparan sekaligus “cambuk” bagi mahasiswa sekarang bahwa hendaknya membenahi dululah hal-hal sekitar kampus bahkan diri sendiri sebagai mahasiswa sebelum melontarkan atau mengkritik suatu isu-isu nasional yang lebih besar, demonstrasi yang cerdas yang dimulai dari diri sendiri, sekitar kampus untuk menghasilkan perubahan yang labih baik, bukan demonstrasi tanpa arah dan tidak tahu tujuan apalagi sampai berbuat kerusuhan.

Kecintaannya terhadap alam, sikap idealis nya yang tinggi tercermin dari perkataannya “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan” mungkin jarang kita dapatkan sekarang. Kesederhaannya mungkin amat langka didapatkan lagi sekarang ini, alasannya lebih memilih Fakultas Sastra, yang kurang populer dimasa itu dibandingkan Fakultas Kedokteran atau Ekonomi pada masa itu yang lebih menjanjikan dari segi materi kalau sudah lulus. Apa yang kau cari Soe Hok Gie?.. mungkin karena ucapannya “siapapun tak mengenal sejarah, akan mengulangi kesalahan yang dibuat generasi pendahulunya”. Terhadap alam dan lingkungannya, mungkin bisa dilihat juga terhadap kecerdasannya dalam hal ini, beberapa kali memimpin pendakian gunung serta menjadi salah satu pendiri Mapala UI, hingga akhir hidup nya berakhir di puncak Semeru pada usia yang masih muda. Gie pernah berkata :“Seorang Filsuf Yunani pernah menulis.. nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua.Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Hmmm, namun bukankah lebih baik kalau umur tua namun mempunyai amal dan bisa memberikan kebaikan yang lebih banyak. Ya, andai Soe Hok Gie masih ada..
===============================
Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

(kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, lembah mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat

(lampu lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)

Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta

(haripun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang tidak kita mengerti
Seperti kabut pagi itu)

Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru

Selasa, 01 April 1969
-          Soe Hok Gie -

0 komentar: