AnAk dAn MaSa KanAk

“Waktu ku kecil hidupku amatlah senang, senang dipangku-dipangku di peluknya serta dicium-dicium dimanjanya namanya kesayangan…”

“Satu-satu, aku sayang ibu, Dua-dua, juga sayang ayah, Tiga-tiga, sayang adik-kakak. Satu, dua, tiga, sayang semuanya…”

Masihkah kita ingat lagu diatas?. Lagu yang sering kita nyanyikan ketika masa kanak-kanak dahulu, lagu yang sering diajarkan oleh guru kita di Taman kanak-kanak dahulu. Bait lagu yang teramat sederhana dan mudah diingat dan pastinya sampai sekarangpun lagu itu masih tetap terpatri di memori kita. Menyanyikannya kembali mengingatkan kita pada masa kanak-kanak dahulu yang indah, yang penuh dengan canda dan tawa serta penuh dengan rasa sayang dari kedua orang tua kita, saudara kita dan sahabat-sahabat kita. Menyanyikannya kembali membangkitkan rasa manja kita dan rasa sayang kita terhadap orang-orang yang kita sayangi di sekitar kita.

Tapi lagu itu “hanya mimpi, yang menciptakannyapun juga sedang bermimpi, apalagi yang menyanyikannya pastilah para pemimpi.” Kalimat itu mungkin saja pantas diucapkan oleh Riska Rosdiana, gadis kecil yang mati mengenaskan di kamar tidurnya setelah berkali-kali di perkosa paman dan dipukuli oleh ibu tirinya. Boleh juga dilontarkan oleh Indah Sari yang setelah berhari-hari menahan perihnya luka bakar perbuatan sang ibu. Dan tinggal sang adik, Lintar Syahputra yang masih tak mengerti mengapa ibu tega membakar dirinya.

Risman pun boleh juga berteriak demikian sekeras-kerasnya, agar sang kakek bisa mendengar dengan jelas, yang membuatnya tak mengerti mengapa sang kakek tega menganiayanya dengan siraman air panas dan sundutan rokok serta mengurung Risman dalam kamar tanpa makan dan minum. Pantaslah hal itu juga diucapkan oleh Siti Ihtiatus Sholehah yang harus meringis kepanasan dan kulitnya melepuh luka bakar akibat ulah sang ayahnya yang tega menyetrika anaknya sendiri. Siti pun harus rela merasakan lempengan setrika dengan suhu diatas 100 derajat celcius mendarat ditubuhnya.

Ingatan kita juga masih segar melihat nasib Tegar, bocah berumur 3 tahun yang dengan teganya disiksa oleh sang ayah dengan cara mencekik dan meletakkan tubuh kecil Tegar diatas rel kereta hingga kaki kanannya terputus dilintas kereta api. Mungkin juga kita pernah mendengar kisah memilukan Ari Hanggara di tahun 80-an, kisah Ari tak kalah memilukannya dari kisah anak-anak diatas. Mungkin juga karena pada masa itu kisah penganiayaan anak-anak masih langka sehingga kisah Ari tersebut sempat dibuat filmnya. Namun, mungkin saja sebelum film itu dibuat sudah ada puluhan kasus lain tentang penganiayaan anak-anak tersebut terjadi.

Mengapa penganiayaan anak-anak di negeri ini menjadi sesuatu yang sudah biasa, ada berapa lagi anak-anak yang harus kehilangan masa kanak-kanaknya yang indah, dan ada berapa lagi anak-anak yang ingin merasakan indahnya lagu tersebut dinyanyikan dari mulut-mulut mereka namun tidak pernah merasakan indahnya makna lagu tersebut di masa kanak-kanak mereka, dan ada berapa lagi anak-anak yang harus rela mendengar makian kasar, kulit mereka dilukai, rambut mereka dijambak. Bukankah yang mereka butuhkan adalah orangtua, saudara, dan lingkungan yang baik dan penuh kasih, mendengarkan ungkapan sayang, tatapan teduh dari ayah dan bunda, sentuhan lembut, bahkan pelukan sayang untuk menghangatkan tubuh kecil mereka.

Belum lagi kalau kita berbicara tentang penderitaan anak-anak jalanan, wajah-wajah yang memelas iba sembari menegadahkan tangan, tubuh-tubuh yang setiap malam terlelap di emperan toko di tengah-tengah megahnya bangunan perkotaan, dimana terik matahari siang hari menjadi peneduhnya, aspal jalanan bagai alas karpet bagi mereka, serta debu jalanan dan asap knalpot kendaraan sudah menjadi aroma sehari-hari mereka, belum lagi gelap dan dinginnya malam sudah mereka rasakan bagai selimut yang membungkus badan-badan mereka. Akankah kita masih menutup mata kita terhadap kekerasan yang sering mereka alami sehari-hari, dari tindakan kriminalitas, Narkoba sampai tindakan pelecehan seksual yang bisa saja mengancam jiwa dan masa depan mereka sebagai anak-anak, bukankah mereka juga layak merasakan masa kanak-kanak yang indah, bukankah mereka juga layak menyanyikan lagu tersebut dengan penuh rasa sayang dan cinta dari orangtua, saudara dan dari lingkungan sekitar mereka.

Anak-anak adalah anugerah dari Tuhan, titipan dari Tuhan. Sejahat dan sekotor bagaimanapun orangtuanya, dan bagaimana janin tersebut terbentuk serta dari mana benih tersebut berasal, dia adalah ciptaan Tuhan yang masih suci sehingga layak dilindungi dan dijaga. Pergolakan batin saya lebih pada apakah anak-anak seperti tersebut diatas memang harus menerima nasib seperti itu, sebagian dari kita mungkin berpandangan bahwa begitu kejamnya orang tua dan lingkungan di sekitar mereka, namun yang patut kita renungkan bahwa bagaimana perasaan kita ketika dihadapkan pada kejadian tersebut. Mungkin selama ini, masa kanak-kanak kita yang penuh canda tawa dan kasih sayang dari orang-orang sekitar kita patutlah kita syukuri, dan hendaklah rasa syukur itu terpancar dalam bentuk rasa sayang dan kepedulian terhadap anak-anak disekitar kita sehingga makna lagu tersebut bukanlah menjadi mimpi lagi bagi setiap anak-anak di negeri ini, sehingga dari mulut-mulut mungil mereka akan terdengar dengan lantangnya nyanyian tersebut dinyanyikan dengan penuh rasa cinta dan sayang dari orang tua, saudara, sahabat dan lingkungan sekitar mereka. Bukankah masa depan bangsa ini juga di tentukan dari mereka?.
=========================================================
Phali (Selamat Hari Anak Nasional..!!!).

Referensi : Bayu Gawtama, Berguru Pada Kehidupan. Andi F. Noya, Andy’s Corner.