Sebuah Resensi, Dwilogi : Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas


Ayah, pulanglah saja sendirian Tinggalkan aku Tinggalkan aku di Padang Bulan Biarkan aku kasmaran (penggalan puisi Ikal ketika bertemu A Ling lagi).
“Jika kuseduhkan kopi, ayahmu menghirupnya pelan-pelan lalu tersenyum padaku”. Meski tak terkatakan , anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas membalas, dan kopi itu adalah cinta di dalam gelas.

Membaca Novel Dwilogi Andrea yang terbaru : Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas kembali mengingatkan saya pada Tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov. Masih tentang kualitas bercerita Andrea yang sudah menjadi jaminan dalam Novel tersebut, dari mozaik-mozaik yang saya baca terkadang membuat saya merinding, sedikit membuat mata ini berkaca-kaca dan terkadang juga dengan gaya bahasa Andrea yang jenaka dan sedikit “nakal” yang semuanya itu terbungkus dalam suasana Belitong dengan pemaparan Melayu yang panjang meski kadang terkesan berlebihan.

Adalah Enong, pusat cerita dari Novel ini. Diawal cerita pada novel pertama pembaca langsung dihadapkan pada situasi yang dramatis, tragedi yang sangat memilukan. Dimana Enong yang sedang bahagianya menerima hadiah dari Ayahnya, sebuah Kamus Satu Milyar Kata. Hadiah dari ayah miskin dan sederhana, hasil menabung dari kerja serabutan. Ayah bijaksana itu sangat mendukung anaknya untuk menjadi seorang guru Bahasa Inggris. Ayah yang penyayang itu akan memberikan kejutan untuk istrinya berupa hadiah sepeda terbaru dan mengajak keluarganya ke pasar malam. Namun, Ayah yang sangat bertanggung jawab itu mengalami nasib tragis yaitu meninggal karena kecelakaan saat bekerja, tertimbun lumpur.

Jadilah Enong. Seorang gadis kecil yang masih kelas enam SD. Tiba-tiba, secara otomatis, karena dia adalah anak pertama dari 5 bersaudara. Harus memikul beban sbg kepala keluarga. Disinilah tragedi dan peristiwa demi peristiwapun terjadi. 

Syalimah – Ibu dari anak-anak yatim itu – harus merelakan anak pertamanya – Enong, yang masih kelas 6 SD, yg belum dapat ijazah SD, yg masih semangat sekolah, yang mencintai pelajaran bahasa Inggris, pergi ke kota tanjong pandan untuk mencari pekerjaan. Gadis kecil yang kurus itu harus berjuang demi keluarganya, demi ibu dan adik-adiknya. Subuh buta Enong pun pergi ke Tanjong Pandan, diantar ibu dan adik-adiknya, numpang ke sebuah truk angkutan barang. Di kota, Enong berkeliling mencari-cari pekerjaan, dipikirannya hanyalah bagaimana bisa mendapatkan uang untuk membantu keluarganya hidup.

Dikota, Enong harus bersaing dengan orang-orang dewasa, jelas saja dia kalah; tak ada yang mau menerima dia kerja. Enong balik ke kampung, dia ambil pacul dan peralatan tambang Ayahnya di rumah, dia pergi mencari timah. Ya,pekerjaan paling kasar di dunia ini pun dilakoni Enong, sekali lagi, demi hidup keluarganya, demi mimpi-mimpinya.

Selanjutnya kisah enong mengalir penuh drama. Dilain sisi, novel ini pun bercerita kisah legendaris percintaan Ikal dan A Ling. Cinta remaja yang unik, lucu, dilematis, penuh kejutan dan dibumbui dengan sedikit aroma-aroma kecemburuan. Andrea sekali lagi berhasil meninggalkan kesan mendalam dalam novel ini. Ciri khasnya tetap sama, drama dan tragedi bercampur kelucuan-kelucuan, budaya melayu yang kental  menjadi ruh dalam dwilogi ini.

Sebagai kelanjutan kisah Enong di Novel Padang Bulan, pada Novel kedua Cinta di Dalam Gelas menceritakan perjalanan nasib Enong. Menceritakan bagaimana ia berurusan dengan preman pasar pagi, seorang lelaki yang bercita-cita menjadi teknisi antena parabola, dan seorang Grand Master perempuan tingkat dunia yang berasal dari Georgia, menampilkan kisah catur dan kebiasaan unik orang Melayu kampung, bahkan Andrea jg bertutur tentang jenis manusia berdasarkan cara minum kopi, sebagai refleksi dari keseringannya orang-orang Melayu Kampung nongkrong di warung kopi sambil bermain catur, bahkan bagaimana kapten CHIP dan dua ekor Merpati pun tersangkut dalam urusan ini. Namun terlepas dari itu semua,novel ini sesungguhnya menyuguhkan sebuah riset sosial dan kultural serta watak manusia terhadap lingkungannya yang panjang dari Andrea Hirata. Riset yang menggambarkan bukan cuma tentang catur (meskipun sy terkadang jenuh jg membaca tentang paparan yg panjang dari catur dengan rumus-rumus yg tidak sy kenali yg disuguhkan Andrea dalam Novel ini), melainkan tentang bagaimana seorang perempuan menegakkan martabatnya dengan cara yang sangat elegan, tentang perspektif politik kaum marginal, dan tentang falsafah pendidikan yang dianut perempuan itu.

“Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar,” kata perempuan yang bahkan tidak tamat SD itu. Namun, melalui perempuan itu Andrea berhasil menyimpulkan bahwa belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan. Ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut. Enong jatuh, bangun, jatuh lagi dan bangun lagi. Kisah Enong ini bukan hanya kisah tentang keluarga yang sederhana, namun tentang impian seorang anak kecil, tentang keberanian menjalani hidup.

Novel ini juga mungkin bisa sebagai jawaban terhadap pertanyaan tentang Maryamah Karpov atas Novel tetralogi Andrea yang terdahulu. Kegigihan dan semangat hidup Enong-lah (Maryamah binti Zamzami) yang menjadi ruh dan semangat yg inspiratif dari Novel ini, yang terapresiasi pula pada cara bermain caturnya dalam semangatnya menguasai teknik pertahanan benteng bersusun ala Grand Master Anatoly Karpov, sebagaimana pula cara dia untuk tetap bertahan dan tidak menyerah pada kesulitan hidup yang dia alami. Hingga, di akhir pidatonya ketika dia terpilih sebagai salah satu lulusan terbaik dalam Wisuda Kursus Bahasa Inggris dia berkata dengan lantangnya, “Sacrifice, honesty, freedom”.