Sang Guru, “Sang Murabbi” dan “3 Idiot’s”


Kalau menginginkan kemakmuran satu tahun, tanamlah gandum. Kalau menginginkan kemakmuran sepuluh tahun, tanamlah pohon. Kalau menginginkan kemakmuran seratus tahun, kembangkanlah orang”. (pepatah Cina).

Tanggal 25 November 2010, Indonesia memperingatinya sebagai hari guru. Bicara tentang guru, kita pasti akan teringat akan sosok yang mengajari kita tentang segala hal dalam ilmu pengetahuan, sosok yang membimbing kita akan arti kehidupan ini dan dapat dikatakan juga sebagai orang tua kedua bagi kita, sosok ini jugalah yang merawat dan berperan dalam perkembangan kita sebagai seorang manusia.

25 November yang diperingati sebagai hari guru nasional hendaklah bukan saja dilihat sekedar dalam bentuk seremonial semata, namun momentum ini hendaknya menjadi nilai dalam melihat eksistensi guru terhadap perkembangannya dalam memanusiakan manusia. Bukan cuma sekedar raihan dan berlomba dalam perolehan sertifikasi guru saja yang berpengaruh terhadap besaran jumlah tunjangan namun hendaknya juga dibarengi dengan tanpa melupakan kualitas dalam menciptakan manusia terdidik otak dan imannya.

Sosok seorang guru juga mengingatkan saya ketika menonton film “Sang Murabbi” sebuah film yang menggambarkan sosok Syaikut Tarbiyah, Ust.Rahmat Abdullah dimana dengan semangat dakwahnya yang menggebu-gebu rela melakukan perjalanan jauh dalam memberikan tarbiyah kepada umat meskipun beberapa cacian,tuduhan dan sangkaan sering dia terima bahkan beberapa kali terpaksa tarbiyah yang dipimpinnya harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun dengan rasa keikhlasan dan rasa cintanya serta semangat perjuangannya dalam agama ini semua itu bukan halangan baginya,bahkan dengan lantangnya dia mengatakan “Seonggok kemanusiaan terkapar, siapa yang mengaku bertanggungjawab? Bila semua menghindar, biarlah saya yang menanggungnya, semua atau sebagiannya.”

Sang murabbi dalam film tersebut menampilkan sosok guru yang dengan ikhlasnya rela memberikan pencerahan dan membimbing umatnya dalam memberikan ilmu. Sosok yang perlu menjadi bahan renungan dan perhatian juga bagi kita terhadap momentum hari guru ini bahwa ternyata masih banyak guru-guru yang dengan keikhlasannya masih mempunyai semangat dan rasa tanggung jawab terhadap profesinya. Suatu hal yang perlu menjadi perhatian juga terhadap kesejahteraan mereka apalagi yang rela berjuang untuk mengajar ke daerah-daerah terpencil demi memberikan ilmu dan semua itu mereka lakukan atas dasar keikhlasan tanpa mengharap balasan.

Disamping itu, ketika saya menonton film “3 Idiot’s” sosok guru juga mengajarkan kita terhadap perannya dalam pembentukan suatu pola pendidikan. Ada suatu ungkapan yang menarik dari dialog dalam film tersebut yaitu : "Hidup adalah sebuah perlombaan, jika Anda tidak cukup cepat, maka Anda akan diinjak-injak," begitulah pesan rektor Viru Sahastrabudhhe (boman Irani) saat menyambut para mahasiswa baru di kampus ICE. Sebegitu besarnyakah suatu persaingan dalam hidup. Sehingga, bila kita tertinggal maka kita ibarat sampah yang siap dilempar dan diinjak-injak kapan saja. Maka tidaklah mengherankan kalau zaman sekarang semuanya musti diukur dan dituntut dari segi nilai bukannya berdasarkan ilmu. Miris memang kalau kita melihat sisitem pendidikan kita seperti itu, namun kalau kita bisa mengubah pola itu dengan menjadikan pendidikan sebagai ajang untuk mencari ilmu bukan hanya mencari nilai atau peringkat semata maka hidup bisa sebagai ajang bersama-sama menciptakan sang pemenang.

Banyak yang bilang film ini bagus, dan memang banyak sekali hal positif yang bisa kita petik dari film ini. Salah satunya adalah quote yang satu ini: “Follow excellent then money will follow you”. Intinya jangan bercita-cita untuk menjadi sukses tapi bercita-citalah menjadi yang terbaik. Quote lainnya yang bisa dipetik adalah: “Make your passion as your profession”. Mungkin banyak juga orang diluar sana yang berhasil mewujudkan mimpinya sebagai profesinya dan itu semua dilakukan melalui perjuangan untuk mewujudkan impiannya itu. Namun, yang paling utama adalah bagaimana peran guru dalam mengarahkan dan mewujudkan impian-impian itu. Impian yang pasti ada dalam diri setiap manusia untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik kedepannya…
Ada ungkapan yang mengatakan : bukankah setiap orang itu adalah guru dan setiap tempat itu adalah sekolah…

==============================
Selamat Hari Guru tgl 25 November, ditunggu traktirannya ya.. he..he..

“Emak Ingin Naik Haji”, cerita Pak Asep dan Amanah Sosialnya


Menonton film “Emak Ingin Naik Haji” saya seolah merasakan suatu realitas kehidupan yang tidak jauh dari kehidupan sekitar kita, tentang nilai keikhlasan dan pengorbanan dalam beribadha. Menyajikan sebuah drama yang diangkat dari cerita pendek karya Asma Nadia yang tentunya lebih realistis dan menyayat hati ini, membuat kita merasakan begitu besarnya nikmat-Nya.

Film ini menceritakan tentang seorang Ibu yang ingin sekali menunaikan salah satu kewajiban dalam rukun Islam yang ke-5 yaitu naik haji bagi yang mampu, sayangnya sang Ibu ini hanyalah seorang penjual kue, sedangkan sang anak hanyalah seorang penjual lukisan dijalan dan sangat ingin mewujudkan impian sang bunda. Disamping itu, tetangga emak yang kaya raya sudah beberapa kali menunaikan haji, apalagi pergi umroh. Di tempat lain ada orang berniat menunaikan haji hanya untuk kepentingan politik. "Emak pengin naik haji Zein.Ingin", itulah salah satu sepenggal kalimat emak (Aty Kanser) saat berbincang dengan anaknya, Zein (Reza Rahadian) dalam dialog di film tersebut, menurut saya simpel namun mengena. Tak banyak derai tangis diumbar atau teriak kemarahan, namun yang pasti setiap adegan dan dialognya amat menyentuh hati. Simpel, bahwa di lubuk hati seseorang pasti ada keinginan untuk menunaikan ibadah haji.

Namun yang paling patut diacungi jempol adalah chemistry yang terbangun antara tokoh Emak dan Zein. Sejak adegan pertama ketika mereka berdua menunaikan ibadah sholat subuh berjamaah, saya merasa seperti bukan menonton film. Keduanya begitu nyata menghadirkan aura kasih sayang antara ibu dan anak,dan tentunya tidak 'lebay'. Perasaan sakit hati seorang anak ketika uang emaknya yang sudah ditabung bertahun-tahun demi mewujudkan mimpi naik haji malah digunakan untuk bayar hutang oleh mantan menantunya, atau kebahagiaan saat impian menghajikan sang bunda nyaris tercapai tercermin dengan mantap. Jujur, saya terharu menyaksikan adegan-adegan yang mereka mainkan. Teringat ibu? Mungkin. Yang pasti Reza dan Aty Kanser, seperti bukan berakting.

Film yang berkisah tentang ketulusan hati dan kerinduan kepada Tuhan, serta kecintaan luar biasa seorang anak kepada ibunya ini patut diacungi jempol kemasan ceritanya. Dialog-dialog yang sangat terasa membumi tidak 'lebay' atau terlalu rapi seperti film pada umumnya. Tak lupa ketelitian sang sutradara Aditya Gumay dalam menempatkan scene demi scene yang mampu membangun emosi. Amat menyentuh, mulai dari adegan yang tunjukan dengan susahnya cari duit, trus kenyataan-kenyataan pahit hingga alur klimak yang tentunya membuat emosi bakal naik turun, meski sang emak sedang kesusahan, dan keinginan untuk naik hajinya tinggi, dia masih rela untuk menyerahkan sisa uangnya yang tak seberapa untuk menolong tetangganya yang sakit. Masya Allah.!!!, dan adegan yang paling mantab adalah ketika sang emak berjalan dengan anak lelakinya ke sebuah pantai, dan dia bilang kalau misalnya dia di jemput terlebih dahulu sebelum pergi ke Mekkah, "Allah sudah tahu kalau hatinya sudah terlebih dahulu di Mekkah"..Sumpah!!!, terharu sy..

Ketulusan dan keikhlasan sang emak dalam film tersebut mengingatkan saya pada suatu cerita yang saya dapatkan di sebuah blog, mengutip dari Buku Happy Ending Full Barokah (Daiambil dari Majalah Hidayatullah), tentang kegigihan seorang Bapak bernama Asep, yang sehari-harinya bekerja dengan membuka sebuah toko kecil disebuah jalan di kota Bandung demi menghidupi keluarganya. Pak Asep, menabung sedikit demi sedikit untuk mewujudkan impiannya berhaji. Namun, ketika uang yang terkumpul telah cukup untuk pergi berhaji salah seorang sahabatnya, Kang Endi menderita penyakit yang cukup serius dan membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedkit. Mendengar kabar tersebut, Pak Asep pun berinisiatif untuk memberikan bantuan kepada sahabatnya itu, dan tidak tanggung-tanggung seluruh biaya pengobatan yang ditanggung sang bapak itu sebanding dengan uang yang telah dia kumpulkan bersusah payah untuk behaji. Batal lah pak Asep untuk berangkat berhaji.

Ketika Kang Endi akan dioperasi. Sebelum dioperasi, dokter yang menangani Kang Endi berbincang dengan keluarga. “Doakan ya agar operasi berjalan lancar dan semoga Kang Endi lekas sembuh! Kalau boleh tahu…, darimana dana operasi ini didapat?” Dokter mencetuskan pertanyaan tersebut, karena ia tahu bahwa keluarga tersebut tidak mampu menyediakan dananya.

Istri Kang Endi menjawab, “Ada seorang tetangga kami bernama pak Asep yang membantu, Alhamdulillah dananya bisa didapat, Dok!” “Memangnya, beliau usaha apa? Kok mau membantu dana hingga sebesar itu?” Dibenak dokter, pastilah pak Asep adalah seorang pengusaha sukses. “Dia hanya punya usaha toko kecil di dekat rumah kami. Saya saja sempat bingung saat dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar itu!” Istri Kang Endi menambahkan.

Di dalam hati, dokter kagum dengan pengorbanan pak Asep dan istrinya. Hatinya mulai tergerak dan berkata,”Seorang pak Asep yang hanya punya toko kecil saja mampu membantu saudaranya. Kamu yang seorang dokter spesialis dan kaya raya, tidak tergerak untuk membantu sesama.” Suara hati itu terus membekas dalam dada pak dokter. Pembicaraan itu usai, dan dokter pun masuk ke ruang operasi.

Alhamdulillah operasi berjalan sukses dan lancar. Ia memakan waktu hingga 4 jam lebih. Seluruh keluarga termasuk dokter dan perawat yang menangani merasa gembira. Kang Endi tinggal menjalani masa penyembuhan pasca operasi. Pak Asep masih sering menjenguknya.

Suatu hari kebetulan pak dokter sedang memeriksa kondisi Kang Endi dan pak Asep pun sedang berada di sana. Keduanya pun berkenalan. Pak dokter memuji keluasan hati pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan pujian itu kepada Pemiliknya, yaitu Allah SWT. Hingga akhirnya, pak dokter meminta alamat rumah pak Asep secara tiba-tiba.

Beberapa minggu setelah Kang Endi pulang dari rumah sakit. Malam itu, Pak Asep dan istrinya tengah berada di rumahnya. Toko belum lagi ditutup, tiba-tiba ada sebuah mobil sedan hitam diparkir di luar pagar rumah. Nampak ada sepasang pria dan wanita turun dari mobil tersebut. Cahaya lampu tak mampu menyorot wajah keduanya yang kini datang mengarah ke rumah pak Asep.

Begitu mendekat, tahulah pak Asep bahwa pria yang datang adalah pak dokter yang pernah merawat sahabatnya kemarin. Gemuruh suasana hati pak Asep. Ia terlihat kikuk saat menerima kehadiran pak dokter bersama istrinya. Terus terang, seumur hidup, pak Asep belum pernah menerima tamu agung seperti malam ini.

Maka dokter dan istrinya dipersilakan masuk. Setelah disuguhi sajian ala kadarnya, maka mereka berempat terlibat dalam pembicaraan hangat. Tidak lama pembicaraan kedua keluarga itu berlangsung. Hingga saat pak Asep menanyakan maksud kedatangan pak dokter dan istri. Maka pak dokter menjawab bahwa ia datang hanya untuk bersilaturrahmi kepada pak Asep dan istri. Pak dokter menyatakan bahwa ia terharu dengan pengorbanan pak Asep dan istri yang telah rela membantu tetangganya yang sakit dan memerlukan dana cukup besar. Ia datang bersilaturrahmi ke rumah pak Asep hanya untuk mengetahui kondisi pak Asep dan belajar cara ikhlas membantu orang lain yang sulit ditemukan di bangku kuliah. Semua kalimat yang diucapkan oleh pak dokter dielak oleh pak Asep dengan bahasa yang selalu merendah.

Tiba saat pak dokter berujar, “Pak Asep dan ibu…., saya dan istri berniat untuk melakukan haji tahun depan. Saya mohon doa bapak dan ibu agar perjalanan kami dimudahkan Allah Swt… Saya yakin doa orang-orang shaleh seperti bapak dan ibu akan dikabul oleh Allah…”
Baik Asep dan istrinya menjawab serentak dengan kalimat, “Amien…!”

Pak dokter menambahkan, “Selain itu, biar doa bapak dan ibu semakin dikabul oleh Allah untuk saya dan istri, ada baiknya bila bapak dan ibu berdoanya di tempat-tempat mustajab di kota suci Mekkah dan Madinah…”. Kalimat yang diucapkan pak dokter kali ini sama-sama membuat bingung pak Asep dan istrinya sehingga membuat mereka berani menanyakan, “Maksud pak dokter….?”. “Ehm…, maksud saya, izinkan saya dan istri mengajak bapak dan ibu Asep untuk berhaji bersama kami dan berdoa di sana sehingga Allah akan mengabulkan doa kita semua!”

Kalimat itu berakhir menunggu jawaban. Sementara jawaban yang ditunggu tidak kunjung datang hingga air mata keharuan menetes di pipi Asep dan istrinya secara bersamaan. Beberapa menit keharuan meliputi atmosfir ruang tamu sederhana milik Pak Asep. Seolah bagai rahmat Tuhan yang turun menyirami ruh para hamba-Nya yang senantiasa mencari keridhaan Tuhan. Asep dan istrinya hanya mampu mengucapkan terima kasih berulang-ulang.

Usai pak dokter pulang, keduanya tersungkur sujud mencium tanah tanda rasa syukur yang mendalam mereka sampaikan kepada Allah Yang Maha Pemurah. Akhirnya, mereka berempat pun menjalankan haji di Baitullah demi mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla.
    
Kisah sang emak dalam film tersebut dan pak Asep dalam cerita diatas, menunjukkan kualitas tentang keikhlasan ibadah seorang hamba, merekalah orang-orang yang berhak mendapatkan gelar mabrur sebelum berhaji. Ibadah yang tidak peduli simbol-simbol budaya kosmetik dan yang mengindividu, melainkan sebuah dorongan murni peningkatan kualitas kemanusiaan  seseorang baik secara individu maupun sosial. Inilah hasil dari pendidikan suatu  ibadah. Ibadah yang dilakukan dari hati (al-niyyat) turun ke praktik fisik secara lahir (manasik), kemudian menjelma menjadi sebentuk sikap sosio-relijius (al-Taqwa).

Inilah nilai dari pengorbanan sesungguhnya, momentum untuk introspeksi dan evaluasi dalam belajar berkorban, ikhlas, sabar dan istiqomah, bukan cuma sekedar raihan gelar haji semata apalagi sekedar untuk kepentingan berfoya-foya dan gengsi. Dan, sebagai rukun terakhir bagi kesempurnaan seseorang Muslim, ibadah haji menjadi titik untuk mempertemukan sinergisasi keduanya; kewajiban  individual sekaligus amanah sosial. Inilah haji mabrur yang maqbul yang pahalanya Insya Allah diterima disisi Allah SWT.
==================================
Met Idul Adha 1431 H, Mohon Maaf Lahir & Bathin.. Qurban atau Korban??.

Sebuah Resensi : (Soe Hok Gie).. sekali lagi. Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya.


Buku, pesta dan cinta mungkin merupakan hal yang berada tidak jauh dari sekitar kehidupan mahasiswa. Bagaimana pula kah hal tersebut tergambar di alam bangsanya dari sudut pandang seorang Soe Hok Gie, seorang mahasiswa aktivis kampus dan pandangan politiknya pada era tahun 60-an?.

Membaca buku bersampul merah putih pada cover depannya dan cover kuning pada sampul belakangnya ini, mungkin mengingatkan kita pada buku Catatan Seorang Demonstran, judul buku yang juga banyak disinggung dalam buku “Soe Hok Gie sekali lagi” ini, dan jujur saja buku catatan seorang demonstran itu belum pernah saya baca, namun karakter Soe Hok Gie cukup memikat saya dan pastinya para pembaca dan pengagum fanatiknya terhadap tulisan, puisi dan catatan harian sosok ini, apalagi setelah di film kan oleh Riri Riza dan Mira Lesmana dalam film “GIE”. Seorang yang idealis dalam mencatat perasaan, penulis yang punya kedisiplinan dalam memandang sudut pandang sejarah bangsanya dalam pergulatan pemikiran pribadinya. Disamping itu, kekagumannya dan cintanya pada alam dan ilmu pengetahuan mampu membuka sebuah pandangan terbuka pada kita tentang sebuah masa yang selama ini kita kenal lewat sejarah versi pemerintah, namun sentuhan Gie dalam masa mudanya yang penuh tenaga menggairahkan tanpa pamrih dan takut menyelami relung kehidupan bangsanya yang penuh luka pada masa itu.

Buku setebal 500-an halaman ini, terbagi dalam 5 bagian, diawali dengan kisah tragis kematian Gie  di gunung semeru, yang diceritakan oleh Rudi Badil. Di bagian ini banyak bercerita tentang pendakian Gie dan teman-temannya di semeru sampai dengan proses evakuasi jenazah Gie dan Idhan Lubis (mahasiswa dari Tarumanegara yang ikut dalam pendakian ke semeru dan juga meninggal di puncak semeru bersama Gie). Pada bagian kedua bercerita tentang Gie dan dan rasa kecintaannya terhadap alam, kisah Gie dan Semeru sampai dengan ulasan soal pendakian Gunung Pangrango untuk mengantar sisa abu jenazah Hok-Gie dan melayat ke pemakaman  Idhan Lubis di TPU kampung kandang.

Pada bagian ketiga dari buku ini diceritakan tentang Saksi-Saksi dari Rawamangun-Salemba, mengenai sepak terjang Gie di kampus FS-UI, sebagai seorang aktivis kampus dan sikap politiknya terhadap bangsanya, menjadi “pak dosen” pada tahun 1969, bahkan sampai tentang kehidupan pribadi Gie dan percintaannya, dan dalam bagian ini diceritakan juga oleh saksi-saksi Rawamangun bahwa kehidupan Gie dan seputar “cewek-cewek sastra” yang kayaknya amat moralis dan kebanyakan ini-itunya. Mungkin juga pada masa itu, buku harian Gie belum banyak beredar sehingga tidak ada “sepotong” orang pun yang tahu kisah kasihnya. Suatu cerita tentang data dan dokumentasi kejadian 40-an tahun lalu, disamping juga sebagai dokumentasi tentang indahnya, hangatnya dan lekatnya hubungan pertemanan dengan seorang yang bernama Soe Hok Gie di mata teman-temannya, saksi dari Rawamangun-Salemba.. Ya, Soe Hok Gie sekali lagi….

Tulisan dari “The Angry Young Men”, judul dari bagian keempat dari buku ini amat pas menurut saya untuk menggambarkan isi pada bagian ini. Berisi tentang tulisan dari orang-orang yang tidak pernah bertemu langsung dengan Gie dan bahkan lahir, hidup dan besar bukan pada zamannya Gie, namun mengagumi sosok Gie dari tulisan-tulisan, artikel dan catatan-catatan Soe Hok Gie. Dari Riri Riza, sutradara film “GIE”, Nicholas Saputra sampai Mira Lesmana, Hilmar Farid, Stanley Adi Prasetyo, Jopie Lasut serta Ben Anderson menuangkan tulisan mereka pada bagian ini, yang umumnya mereka mengaku semangat Gie dan kisah hidupnya dapat menjadi inspirasi mereka dalam bertindak dan mengambil peran dalam masyarakat. “Jangan memancing perasaan anak-anak muda itu. Mereka itu angkatan the angry young men, bukan crossboys lagi, bukan hippies juga.” Kurang lebih begitulah ucapan Gie, terutama ketika pemuda yang sering secara ekstrim disebut crossboys atau hippies dari flower generation menjadi pendemo angkatan 66.         
Dan, buku ini akhirnya berakhir pada bagian kelima yang berisi Karangan dari Kamar Suram Bernyamuk. Berisi tentang tulisan-tulisan dan artikel-artikel pilihan dari Soe Hok Gie yang pernah diterbitkan. Dari kamar yang bersinar lampu suram itulah (karena pada tahun 1960-an itulah voltase listrik Jakarta pada malam hari selalu rendah), Hok Gie membuat artikel-artikel dan tulisan serta catatan pribadinya yang amat berpengaruh. Meskipun dengan penerangan yang remang-remang dan banyak nyamuk, namun dari kamar itulah suara hentakan mesin ketik dan rautan tulisan tangan Gie melahirkan berbagai tulisan yang amat berpengaruh dan menginspirasi bahkan hingga kini.

Soe Hok Gie mungkin bisa menjadi bahan inspirasi dan pengaruh pada kita, sebagai seorang mahasiswa aktivis kampus, dia bukan saja loyal terhadap kritikan terhadap isu-isu yang berkembang terhadap bangsanya, bahkan hal seputar kampusnya dan dosen-dosennya juga tak luput dari tulisan dan kritikannya semuanya demi perbaikan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana dalam tulisannya yang berjudul “Kenang-Kenangan Bekas Mahasiswa: Dosen-dosen juga perlu dikontrol”, mungkin bisa menjadi tamparan sekaligus “cambuk” bagi mahasiswa sekarang bahwa hendaknya membenahi dululah hal-hal sekitar kampus bahkan diri sendiri sebagai mahasiswa sebelum melontarkan atau mengkritik suatu isu-isu nasional yang lebih besar, demonstrasi yang cerdas yang dimulai dari diri sendiri, sekitar kampus untuk menghasilkan perubahan yang labih baik, bukan demonstrasi tanpa arah dan tidak tahu tujuan apalagi sampai berbuat kerusuhan.

Kecintaannya terhadap alam, sikap idealis nya yang tinggi tercermin dari perkataannya “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan” mungkin jarang kita dapatkan sekarang. Kesederhaannya mungkin amat langka didapatkan lagi sekarang ini, alasannya lebih memilih Fakultas Sastra, yang kurang populer dimasa itu dibandingkan Fakultas Kedokteran atau Ekonomi pada masa itu yang lebih menjanjikan dari segi materi kalau sudah lulus. Apa yang kau cari Soe Hok Gie?.. mungkin karena ucapannya “siapapun tak mengenal sejarah, akan mengulangi kesalahan yang dibuat generasi pendahulunya”. Terhadap alam dan lingkungannya, mungkin bisa dilihat juga terhadap kecerdasannya dalam hal ini, beberapa kali memimpin pendakian gunung serta menjadi salah satu pendiri Mapala UI, hingga akhir hidup nya berakhir di puncak Semeru pada usia yang masih muda. Gie pernah berkata :“Seorang Filsuf Yunani pernah menulis.. nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua.Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Hmmm, namun bukankah lebih baik kalau umur tua namun mempunyai amal dan bisa memberikan kebaikan yang lebih banyak. Ya, andai Soe Hok Gie masih ada..
===============================
Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

(kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, lembah mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat

(lampu lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)

Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta

(haripun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang tidak kita mengerti
Seperti kabut pagi itu)

Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru

Selasa, 01 April 1969
-          Soe Hok Gie -