“Emak Ingin Naik Haji”, cerita Pak Asep dan Amanah Sosialnya


Menonton film “Emak Ingin Naik Haji” saya seolah merasakan suatu realitas kehidupan yang tidak jauh dari kehidupan sekitar kita, tentang nilai keikhlasan dan pengorbanan dalam beribadha. Menyajikan sebuah drama yang diangkat dari cerita pendek karya Asma Nadia yang tentunya lebih realistis dan menyayat hati ini, membuat kita merasakan begitu besarnya nikmat-Nya.

Film ini menceritakan tentang seorang Ibu yang ingin sekali menunaikan salah satu kewajiban dalam rukun Islam yang ke-5 yaitu naik haji bagi yang mampu, sayangnya sang Ibu ini hanyalah seorang penjual kue, sedangkan sang anak hanyalah seorang penjual lukisan dijalan dan sangat ingin mewujudkan impian sang bunda. Disamping itu, tetangga emak yang kaya raya sudah beberapa kali menunaikan haji, apalagi pergi umroh. Di tempat lain ada orang berniat menunaikan haji hanya untuk kepentingan politik. "Emak pengin naik haji Zein.Ingin", itulah salah satu sepenggal kalimat emak (Aty Kanser) saat berbincang dengan anaknya, Zein (Reza Rahadian) dalam dialog di film tersebut, menurut saya simpel namun mengena. Tak banyak derai tangis diumbar atau teriak kemarahan, namun yang pasti setiap adegan dan dialognya amat menyentuh hati. Simpel, bahwa di lubuk hati seseorang pasti ada keinginan untuk menunaikan ibadah haji.

Namun yang paling patut diacungi jempol adalah chemistry yang terbangun antara tokoh Emak dan Zein. Sejak adegan pertama ketika mereka berdua menunaikan ibadah sholat subuh berjamaah, saya merasa seperti bukan menonton film. Keduanya begitu nyata menghadirkan aura kasih sayang antara ibu dan anak,dan tentunya tidak 'lebay'. Perasaan sakit hati seorang anak ketika uang emaknya yang sudah ditabung bertahun-tahun demi mewujudkan mimpi naik haji malah digunakan untuk bayar hutang oleh mantan menantunya, atau kebahagiaan saat impian menghajikan sang bunda nyaris tercapai tercermin dengan mantap. Jujur, saya terharu menyaksikan adegan-adegan yang mereka mainkan. Teringat ibu? Mungkin. Yang pasti Reza dan Aty Kanser, seperti bukan berakting.

Film yang berkisah tentang ketulusan hati dan kerinduan kepada Tuhan, serta kecintaan luar biasa seorang anak kepada ibunya ini patut diacungi jempol kemasan ceritanya. Dialog-dialog yang sangat terasa membumi tidak 'lebay' atau terlalu rapi seperti film pada umumnya. Tak lupa ketelitian sang sutradara Aditya Gumay dalam menempatkan scene demi scene yang mampu membangun emosi. Amat menyentuh, mulai dari adegan yang tunjukan dengan susahnya cari duit, trus kenyataan-kenyataan pahit hingga alur klimak yang tentunya membuat emosi bakal naik turun, meski sang emak sedang kesusahan, dan keinginan untuk naik hajinya tinggi, dia masih rela untuk menyerahkan sisa uangnya yang tak seberapa untuk menolong tetangganya yang sakit. Masya Allah.!!!, dan adegan yang paling mantab adalah ketika sang emak berjalan dengan anak lelakinya ke sebuah pantai, dan dia bilang kalau misalnya dia di jemput terlebih dahulu sebelum pergi ke Mekkah, "Allah sudah tahu kalau hatinya sudah terlebih dahulu di Mekkah"..Sumpah!!!, terharu sy..

Ketulusan dan keikhlasan sang emak dalam film tersebut mengingatkan saya pada suatu cerita yang saya dapatkan di sebuah blog, mengutip dari Buku Happy Ending Full Barokah (Daiambil dari Majalah Hidayatullah), tentang kegigihan seorang Bapak bernama Asep, yang sehari-harinya bekerja dengan membuka sebuah toko kecil disebuah jalan di kota Bandung demi menghidupi keluarganya. Pak Asep, menabung sedikit demi sedikit untuk mewujudkan impiannya berhaji. Namun, ketika uang yang terkumpul telah cukup untuk pergi berhaji salah seorang sahabatnya, Kang Endi menderita penyakit yang cukup serius dan membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedkit. Mendengar kabar tersebut, Pak Asep pun berinisiatif untuk memberikan bantuan kepada sahabatnya itu, dan tidak tanggung-tanggung seluruh biaya pengobatan yang ditanggung sang bapak itu sebanding dengan uang yang telah dia kumpulkan bersusah payah untuk behaji. Batal lah pak Asep untuk berangkat berhaji.

Ketika Kang Endi akan dioperasi. Sebelum dioperasi, dokter yang menangani Kang Endi berbincang dengan keluarga. “Doakan ya agar operasi berjalan lancar dan semoga Kang Endi lekas sembuh! Kalau boleh tahu…, darimana dana operasi ini didapat?” Dokter mencetuskan pertanyaan tersebut, karena ia tahu bahwa keluarga tersebut tidak mampu menyediakan dananya.

Istri Kang Endi menjawab, “Ada seorang tetangga kami bernama pak Asep yang membantu, Alhamdulillah dananya bisa didapat, Dok!” “Memangnya, beliau usaha apa? Kok mau membantu dana hingga sebesar itu?” Dibenak dokter, pastilah pak Asep adalah seorang pengusaha sukses. “Dia hanya punya usaha toko kecil di dekat rumah kami. Saya saja sempat bingung saat dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar itu!” Istri Kang Endi menambahkan.

Di dalam hati, dokter kagum dengan pengorbanan pak Asep dan istrinya. Hatinya mulai tergerak dan berkata,”Seorang pak Asep yang hanya punya toko kecil saja mampu membantu saudaranya. Kamu yang seorang dokter spesialis dan kaya raya, tidak tergerak untuk membantu sesama.” Suara hati itu terus membekas dalam dada pak dokter. Pembicaraan itu usai, dan dokter pun masuk ke ruang operasi.

Alhamdulillah operasi berjalan sukses dan lancar. Ia memakan waktu hingga 4 jam lebih. Seluruh keluarga termasuk dokter dan perawat yang menangani merasa gembira. Kang Endi tinggal menjalani masa penyembuhan pasca operasi. Pak Asep masih sering menjenguknya.

Suatu hari kebetulan pak dokter sedang memeriksa kondisi Kang Endi dan pak Asep pun sedang berada di sana. Keduanya pun berkenalan. Pak dokter memuji keluasan hati pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan pujian itu kepada Pemiliknya, yaitu Allah SWT. Hingga akhirnya, pak dokter meminta alamat rumah pak Asep secara tiba-tiba.

Beberapa minggu setelah Kang Endi pulang dari rumah sakit. Malam itu, Pak Asep dan istrinya tengah berada di rumahnya. Toko belum lagi ditutup, tiba-tiba ada sebuah mobil sedan hitam diparkir di luar pagar rumah. Nampak ada sepasang pria dan wanita turun dari mobil tersebut. Cahaya lampu tak mampu menyorot wajah keduanya yang kini datang mengarah ke rumah pak Asep.

Begitu mendekat, tahulah pak Asep bahwa pria yang datang adalah pak dokter yang pernah merawat sahabatnya kemarin. Gemuruh suasana hati pak Asep. Ia terlihat kikuk saat menerima kehadiran pak dokter bersama istrinya. Terus terang, seumur hidup, pak Asep belum pernah menerima tamu agung seperti malam ini.

Maka dokter dan istrinya dipersilakan masuk. Setelah disuguhi sajian ala kadarnya, maka mereka berempat terlibat dalam pembicaraan hangat. Tidak lama pembicaraan kedua keluarga itu berlangsung. Hingga saat pak Asep menanyakan maksud kedatangan pak dokter dan istri. Maka pak dokter menjawab bahwa ia datang hanya untuk bersilaturrahmi kepada pak Asep dan istri. Pak dokter menyatakan bahwa ia terharu dengan pengorbanan pak Asep dan istri yang telah rela membantu tetangganya yang sakit dan memerlukan dana cukup besar. Ia datang bersilaturrahmi ke rumah pak Asep hanya untuk mengetahui kondisi pak Asep dan belajar cara ikhlas membantu orang lain yang sulit ditemukan di bangku kuliah. Semua kalimat yang diucapkan oleh pak dokter dielak oleh pak Asep dengan bahasa yang selalu merendah.

Tiba saat pak dokter berujar, “Pak Asep dan ibu…., saya dan istri berniat untuk melakukan haji tahun depan. Saya mohon doa bapak dan ibu agar perjalanan kami dimudahkan Allah Swt… Saya yakin doa orang-orang shaleh seperti bapak dan ibu akan dikabul oleh Allah…”
Baik Asep dan istrinya menjawab serentak dengan kalimat, “Amien…!”

Pak dokter menambahkan, “Selain itu, biar doa bapak dan ibu semakin dikabul oleh Allah untuk saya dan istri, ada baiknya bila bapak dan ibu berdoanya di tempat-tempat mustajab di kota suci Mekkah dan Madinah…”. Kalimat yang diucapkan pak dokter kali ini sama-sama membuat bingung pak Asep dan istrinya sehingga membuat mereka berani menanyakan, “Maksud pak dokter….?”. “Ehm…, maksud saya, izinkan saya dan istri mengajak bapak dan ibu Asep untuk berhaji bersama kami dan berdoa di sana sehingga Allah akan mengabulkan doa kita semua!”

Kalimat itu berakhir menunggu jawaban. Sementara jawaban yang ditunggu tidak kunjung datang hingga air mata keharuan menetes di pipi Asep dan istrinya secara bersamaan. Beberapa menit keharuan meliputi atmosfir ruang tamu sederhana milik Pak Asep. Seolah bagai rahmat Tuhan yang turun menyirami ruh para hamba-Nya yang senantiasa mencari keridhaan Tuhan. Asep dan istrinya hanya mampu mengucapkan terima kasih berulang-ulang.

Usai pak dokter pulang, keduanya tersungkur sujud mencium tanah tanda rasa syukur yang mendalam mereka sampaikan kepada Allah Yang Maha Pemurah. Akhirnya, mereka berempat pun menjalankan haji di Baitullah demi mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla.
    
Kisah sang emak dalam film tersebut dan pak Asep dalam cerita diatas, menunjukkan kualitas tentang keikhlasan ibadah seorang hamba, merekalah orang-orang yang berhak mendapatkan gelar mabrur sebelum berhaji. Ibadah yang tidak peduli simbol-simbol budaya kosmetik dan yang mengindividu, melainkan sebuah dorongan murni peningkatan kualitas kemanusiaan  seseorang baik secara individu maupun sosial. Inilah hasil dari pendidikan suatu  ibadah. Ibadah yang dilakukan dari hati (al-niyyat) turun ke praktik fisik secara lahir (manasik), kemudian menjelma menjadi sebentuk sikap sosio-relijius (al-Taqwa).

Inilah nilai dari pengorbanan sesungguhnya, momentum untuk introspeksi dan evaluasi dalam belajar berkorban, ikhlas, sabar dan istiqomah, bukan cuma sekedar raihan gelar haji semata apalagi sekedar untuk kepentingan berfoya-foya dan gengsi. Dan, sebagai rukun terakhir bagi kesempurnaan seseorang Muslim, ibadah haji menjadi titik untuk mempertemukan sinergisasi keduanya; kewajiban  individual sekaligus amanah sosial. Inilah haji mabrur yang maqbul yang pahalanya Insya Allah diterima disisi Allah SWT.
==================================
Met Idul Adha 1431 H, Mohon Maaf Lahir & Bathin.. Qurban atau Korban??.

0 komentar: