IBU....


Ribuan kilo jarak yang kau tempuh
Lewati rintangan untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah …. (Iwan Fals).

Ketika Tuhan menciptakan wanita, Dia lembur di hari keenam. Malaikat bertanya : “kenapa begitu lama Tuhan?”. Tuhan menjawab : “Sudahkah engkau lihat semua detail yang Saya buat untuk menciptakan mereka?. Dua tangan ini harus dibersihkan, tetapi bahannya bukan dari plastik. Setidaknya terdiri dari bagian yang bisa digerakkan dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan. Mampu menjaga banyak anak pada saat bersamaan. Punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan.., dan semua dilakukannya cukup dengan dua tangan ini.”

Malaikat itu takjub. “Hanya dengan dua tangan?.. Impossible! Dan itu model standard?! Sudahlah Tuhan, cukup dulu untuk hari ini, besok kita lanjutkan lagi untuk menyempurnakannya”.

“O..tidak, Saya akan selesaikan ciptaan ini, karena ini adalah ciptaan favorit saya.”
“O. yah .. Dia juga akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri, dan bisa bekerja 18 jam sehari.” Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita ciptaan Tuhan itu.
“Tapi Engkau membuatnya begitu lembut Tuhan?”, kata Malaikat
“Yah.. Saya membuatnya lembut. Tapi engkau belum bisa bayangkan kekuatan  yang saya berikan agar mereka dapat mengatasi banyak hal yang luar biasa.”
“dia bisa berpikir?”, Tanya malaikat.
Tuhan menjawab, “Tidak hanya berpikir, dia juga dapat bernegosiasi’.
Malaikat itu menyentuh dagunya.. “Tuhan engkau buat ciptaanMu ini kelihatan lelah dan rapuh! Seolah terlalu banyak beban baginya”.
“Itu bukan lelah atau rapuh .. itu air mata”, koreksi Tuhan.
“Untuk apa?”, tanya malaikat.
“Air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan dan kebanggaan.”. Kata Tuhan melanjutkan.

“Luar biasa Engkau jenius Tuhan”, kata malaikat. Engkau memikirkan segala sesuatunya, wanita ciptaanMu ini begitu menakjubkan”.
Ya.. Mestii. .! wanita ini akan mempunyai kekuatan yang mempesona laki-laki.Dia dapat mengatasi beban bahkan melebihi laki-laki.Dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri. Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit. Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan. Dia berkorban demi orang yang dicintainya. Mampu berdiri melawan ketidakadilan. Dia tidak menolak kalau melihat yang lebih baik. Dia menerjunkan dirinya untuk keluarganya. Dia membawa temannya yang sakit untuk berobat. Cintanya tanpa syarat. Dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang. Dia girang dan bersorak ketika melihat kawannya tertawa. Dia begitu bahagia mendengar kelahiran. Hatinya sedih ketika mendengar berita sakit dan kematian. Tetapi dia selalu mempunyai kekuatan untuk mengatasi hidup.

Masalah kadang begitu banyak kita hadapi dalam kehidupan ini. Terkadang kita mengeluh, kecewa, putus asa, tidak tahan dengan berbagai cobaan bahkan kadang sering menyalahkan Tuhan setiap kita ditimpa masalah dan musibah dan malahan kita kadang melupakanNya di saat kita merasa senang. Tidak pernah kita sadari sesungguhnya bahwa kadang betapa berat beban seorang Ibu dalam melalui kehidupan ini, betapa banyaknya rintangan yang dialaminya demi hanya ingin melihat anaknya bahagia, meski ia tidak sebahagia yang kita bayangkan.

Sering saya menjumpai di jalan begitu banyak sosok Ibu dengan tetesan keringatnya rela berjuang mengarungi bahtera hidup di tengah kerasnya himpitan bangunan-bangunan perkotaan, ditengah tumpukan-tumpukan sampah perkotaan atau di setiap perempatan jalan raya yang dihiasi dengan debu polusi. Tak pernah kita merenung bahwa andai kita tahu bahwa air matanya tak pernah kering di pertengahan malam, kala mengadu kepada Allah perihal anak-anaknya. Bibirnya yang tak pernah berhenti berdoa. Tak pernah peduli darah menjadi penghias di kakinya demi mengantar anaknya menggapai cita.

Mari kita kembali hadirkan wajah Ibu dalam bayangan kita. Kelopak matanya yang dengan izin Allah selalu berlinang air mata, kerut di pipinya mengisyaratkan kelelahan yang sangat, tenaganya yang mulai habis di makan waktu seolah tak lagi dapat menahan tubuhnya yang semakin rapuh, di bola matanya tampak sekali guratan berat kehidupan yang di laluinya, namun semua itu tak dapat menandingi cintanya kepada anak-anaknya yang tidak akan pernah sanggup kita membayar cinta yang pernah dia berikan.

Kita kadang terlalu lemah, cengeng, dan cepat merasa kalah dalam menjalani hidup ini, padahal sering kita memandang sebelah mata perjuangan  dan ‘kekuatan’ Ibu yang begitu sabarnya dan tekunnya dalam menghadapi semua problematika dalam kehidupan ini demi untuk melihat anak-anaknya bahagia dalam menggapai cita-citanya.

Sekarang, imbalan apa yang diterima oleh Ibu dari anak-anaknya yang kini mungkin sudah memiliki anak dan berhasil dalam kehidupannya. Tidak jarang kesibukan kerja dan keluarga membuat kita sering melupakannya. Bahkan kadang rasa cinta kita terhadap materi, penghargaan dan penghormatan lebih tinggi daripada rasa hormat dan cinta kita terhadap Ibu.

“Keridhaan Allah berada di dalam keridaan Ibu bapak, dan kemurkaan Allah berada di dalam murka ibu bapak.” (Sabda Nabi Muhammad S.A.W).
Siapa saja yang shalat lima waktu, maka ia sungguh telah bersyukur kepada Allah SWT. Siapa saja yang mendoakan kedua orang tuanya selepas shalat fardhu, maka ia sungguh telah bersyukur (berterima kasih) kepada orangtuanya. (Sufyan bin Uyainah).
=============================================================
Buat semua Ibu-Ibu  kita, Selamat Hari Ibu..!!! “Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu sampai aku tidur bagai masa kecil dulu lalu doa baluri sekujur tubuhku, Dengan apa aku membalasmu, Ibu….” (Iwan Fals).

Tour D’Java


Mungkin tak ada ungkapan yang paling bahagia ketika menyaksikan seorang sahabat pada puncak kebahagiaannya pada hari pernikahannya. Rasa bahagia itu juga yang mungkin tergambar ketika menghadiri acara pernikahan salah seorang sahabat, Bondan dan Na’ima di Kendal Jawa Tengah pada hari sabtu, 20 November 2010.

Perjalanan menghadiri pernikahan sahabat tersebut makin menggembirakan karena dikemas menjadi “Tour d’ java”. Berangkat dari Makassar pada hari Jumat, 19 November 2010 pukul 16.00 kami awalnya berjumlah 9 orang berangkat lebih awal menggunakan pesawat Merpati menuju Surabaya, dan pada malam harinya sebagian teman kami berjumlah 3 orang menyusul kami menggunakan Merpati pukul 22.00 Wita. Pesawat membawa kami ke Surabaya, nampak dari ketinggian pesona keindahan jembatan suramadu dan hamparan keindahan pemandangan alam melalui pesona pulau Madura  serta suasana keramaian kota Surabaya yang nampak jelas tergambar dari ketinggian.

Kami pun mendarat di Bandara Juanda, Surabaya sekitar pukul 17.30 waktu setempat. Dari Surabaya kami langsung melanjutkan perjalanan ke Kendal, Jawa Tengah. Perjalanan yang memakan waktu sekitar 8 jam dari Surabaya memang terasa cukup melelahkan, namun pesona keindahan perjalanan dari Surabaya ke Kendal serta suasana canda teman-teman diatas mobil seolah membuat perjalanan panjang ini tak terasa menyiksa. Namun, rasa lelah itu akhirnya terbayar juga ketika kami tiba di Kendal pada pukul 03.00 dini hari waktu setempat. Rasa lelah yang terbayar ketika kami langsung beristirahat di sebuah penginapan di kota Kendal untuk mempersiapkan energi kembali keesokan harinya guna menghadiri acara pernikahan salah seorang sahabat kami tersebut.

Pagi harinya, rombongan kedua berjumlah 3 orang akhirnya tiba juga di Kendal. Dan bergabung dengan kami dipenginapan tersebut. Lengkaplah 12 orang rombongan dari Makassar yang bersiap menghadiri resepsi pernikahan Bondan yang mengawali “tour d’ java” kali ini.

Suasana kota Kendal yang cukup sejuk di pagi hari itu, membuat kami mengawali perjalanan panjang ini dengan menyusuri kota Kendal di sekitar penginapan. Wisata kuliner dengan mengunjungi warung-warung dikota kendal untuk sekedar mengisi perut dipagi hari, menikmati sajian Es Dawet (sumpah.. es dawet di kendal betul-betul segar dan beda dengan yg dijual di Makassar) dari pedagang Kaki lima yang berseliweran di jalan-jalan kota Kendal sampai mengunjungi pasar-pasar dan swalayan sekedar mencari batere kamera buat dokumentasi (salah seorang teman membawa kamera tapi lupa bawa baterenya, he.he..).

Selepas berjalan-jalan dipagi hari menghirup udara segar kota Kendal, siang harinya sekitar pukul 11.00 kamipun bersiap-siap menuju ke acara resepsi pernikahan Bondan. Suasana adat Jawa amat terasa di acara pernikahan tersebut semakin menambah kesakralan dari prosesi ijab kabul dan resepsi pernikahan sahabat kami tersebut. Selepas salaman, menikmati sajian makanan dan minuman di acara tersebut, kami pun tak lupa mengabadikan momen tersebut dengan berfoto bersama kedua mempelai. Tak terasa sudah sekitar 2 jam lebih kami di acara resepsi pernikahan itu, akhirnya kamipun pamit pada kedua mempelai sambil teriring do’a semoga bisa menjadi keluarga yang shakinah mawahdah warahma.

Sore hari, sekitar waktu menjelang ashar kamipun check out dari penginapan di kota Kendal dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Kota Semarang. Jarak tempuh dari Kendal ke Semarang yang kurang lebih memakan waktu sekitar 1 jam, membuat kami dapat menikmati suasana kota Semarang pada sore sampai malam harinya.

Perjalanan ke Semarang kami awali dengan mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah, Masjid yang merupakan kebanggaan masyarakat provinsi Jawa Tengah ini terletak di Jalan Gajah Raya Kota Semarang. Yang menarik dari Masjid Agung ini adalah memiliki 6 payung elektrik raksasa yang dapat meneduhi halaman Masjid Agung secara otomatis. Selain itu, Masjid ini juga memiliki pesona keindahan Menara Al Husna dengan ketinggian sekitar 99 meter dengan 19 lantai. Dan dari atas menara kita dapat melihat dengan leluasa pesona keindahan pemandangan kota Semarang, dengan menggunakan binocular/teropong yang dapat mendetailkan pandangan pada lokasi yang diinginkan. Terus terang, yang membuat saya takjub terhadap keindahan Masjid Agung ini adalah kemegahannya dengan menara tingginya yang dapat diperuntukkan untuk beberapa hal, diantaranya museum perkembangan islam (baca:dilantai 2-3), stasiun pemancar radio, dan restoran (baca:dilantai 18). Konsep restorannya mirip seperti salah satu restoran di Bandung yang menjual panorama ketinggian dengan lantai resto yang dapat berputar (baca:rotate) perlahan, sehingga panoramanya dapat berganti dan membuat pengunjung tidak bosan dengan satu pemandangan saja.

Selepas berkunjung ke Masjid Agung Jawa Tengah, kamipun sejenak melepas lelah di Pantai Marina. Salah satu objek wisata pantai yang terletak dibagian utara kota Semarang, memang sangat pas dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk menghabiskan waktu di akhir pekan. Pengunjungnya yang biasanya didominasi oleh pasangan muda mudi ini yang ingin menghabiskan waktu bercengkerama semakin menambah keindahannya karena pohon-pohon rindang yang berada disamping kanan dan kiri jalan menuju pantai memberikan suasana yang cukup nyaman dan sejuk. Sampai sore, kami menghabiskan waktu di pantai tersebut. Sambil berharap dapat menikmati sunset di sore hari tersebut namun keinginan kami tersebut kayaknya tidak dapat terpenuhi lantaran cuaca yang memang cukup mendung pada waktu itu. Akhirnya, menjelang maghrib kami pun melanjutkan perjalanan selanjutnya.

Menjelang maghrib, kami mendapat undangan untuk dapat singgah bersilatuhrahmi sambil makan malam di rumah Pak Nyono, kebetulan beliau adalah Kepala Kantor KPP Madya Makasar yang ber home base di Semarang. Alhamdulillah, Lengkaplah sudah “tour d’java” kali ini. Dapat bersilatuhrahmi ke rumah bos nya Madya Makassar merupakan suatu kehormatan yang besar bagi kami, sambil menikmati masakan sajian makan malam bu Nyono lengkap dengan martabak dan lumpia Semarang, srrpp.. seolah membuat perut ini ndak pernah kenyang, ha..ha.. kebetulan juga rombongan kami ini terdiri dari teman-teman dari KPP Madya Makassar yang juga akan menghadiri resepsi pernikahan salah seorang teman di Madya Mks. Resepsi nya yang dilaksanakan di Solo pada esok harinya, Hari Minggu. Kebetulan Pak Nyono dan Bu Nyono jg akan menghadiri acara tersebut, maka kamipun berinisiatif untuk dapat pergi bersama beliau keesokan harinya menghadiri pernikahan teman tersebut di Kota Solo.

Tak terasa sudah cukup malam  kami bersilatuhrahmi di rumah Pak Nyono, kamipun akhirnya pamit kepada beliau dan mengucapkan banyak terima kasih atas sajian jamuan makan malamnya. Perjalanan kami menyusuri kota Semarang pun kami habiskan sampai larut malam mengunjungi Kawasan Simpang Lima Semarang sambil mencari oleh-oleh. Kawasan Simpang Lima Semarang sebagai salah satu icon Kota Semarang merupakan titik pertemuan dari Jalan Pandanaran, Jalan Pahlawan, Jalan Ahmad Yani, Jalan KH Ahmad Dahlan dan Jalan Gajah Mada. Kebetulan pada hari itu malam minggu, yang memang selalu ramai pada malam minggu dan minggu pagi. Dan memang sangat pas buat mencari oleh-oleh khas Semarang di kota ini. Di Kawasan Simpang Lima Semarang ini juga terdapat Hotel Ciputra, Mall Ciputra dan Robinson (di sisi utara), Hotel Horison dan Matahari Plasa Simpang Lima (di sisi timur), E-Plaza dan Masjid Baiturrahman (di sisi barat) semakin menambah keramaian suasana di kota ini.

Waktu semakin larut malam, membuat kami mengakhiri perjalanan kami menyusuri kawasan simpang lima kota Semarang. Kamipun balik ke hotel untuk melepas lelah guna mempersiapkan energi kembali untuk bersiap-siap ke Kota Solo keesokan harinya.

Minggu Pagi sekitar pukul 07.00 selepas sarapan kamipun langsung check out dari Hotel di Kota Semarang dan langsung menuju ke Kota Solo untuk menghadiri lagi pernikahan salah seorang teman. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 3 jam dari kota Semarang, akhirnya mengantarkan kami juga pada tempat acara tersebut. Suara nyanyian Sinden dan alunan musik gamelan amat terasa melengkapi resepsi pernikahan teman kami, Ozy dan Yayuk dari KPP Madya Makassar. Resepsi pernikahan menggunakan adat jawa semakin menambah semarak acara pernikahan teman tersebut. Suasana pernikahan yang semakin menambah kesakralan dari prosesi ijab Kabul dan resepsi pernikahan.

Tak terasa, cukup lama juga kami menghadiri acara pernikahan teman kami tersebut yang lengkap dengan prosesi adat jawa yang amat kental. Setelah bersalaman dan berfoto bersama kedua mempelai sambil tak lupa mengiringinya dengan do’a, kamipun pamit kepada kedua mempelai dan keluarganya dan bersiap-siap untuk melanjutkan lagi perjalanan berikutnya menyusuri sekitar kota Solo.
Selepas siang, kamipun menyusuri perjalanan di kota Solo dengan mengunjungi Pasar Klewer, pasar yang terkenal dengan nuansa kerajinan Batiknya dan berdekatan dengan lokasi kraton Surakarta semakin menambah kelengkapan kami mengunjungi kota ini. Hunting batik pun sampai kerajinan wayang kami lakukan, dan tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB, akhirnya kamipun mengakhiri perjalanan kami menyusuri kota solo pada hari itu.
Pada sore hari itupun, akhirnya kami yang berjumlah 12 orang berpisah di kota Solo, salah seorang teman berencana ke Bandung naik kereta untuk mengunjungi saudaranya dan nanti sama2 Saudaranya tersebut balik ke Makassar, sebagian teman tetap menginap di Kota Solo karena Senin esok harinya mereka akan balik ke Makassar, dan kami berjumlah 7 orang melanjutkan perjalanan ke kota Yogya dan akan balik ke Makassar pada hari Selasa.

Kami yang tinggal berjumlah 7 orang, tiba di Yogya sekitar pukul 20.00 waktu setempat. Perjalanan kami awali dengan menyusuri Jl. Malioboro di kota Yogya. Sembari mencari penginapan yang cocok, nyaman dan sesuai dengan isi dompet kamipun menyusuri Jl. Sosrowijayan (disekitar kawasan Malioboro jg). Setelah cukup lama berdiskusi dengan teman-teman tentang penginapan yang akan ditempati malam itu sampai dengan mendengar saran orang-orang sekitar jalan tersebut yang juga menawari penginapannya (bahkan sampe ada yang nawarin ABG segala, ha..ha..gubrak!!), akhirnya kamipun mendapat sebuah penginapan yang fasilitasnya lumayanlah untuk sejenak melepas lelah semalam di kota Yogya.
Setelah semalam menyusuri Malioboro, senin paginya kamipun berencana mengunjungi kawasan Candi Borobudur, meskipun kami agak was-was juga karena mengingat kondisi abu merapi di kawasan tersebut juga belum cukup aman. Namun, Alhamdulillah perjalanan mengunjungi Candi Borobudur berjalan lancar, kebetulan pada hari itu kawasan tersebut baru dibuka kembali. Meskipun, cuma bisa mengunjungi dasar candi saja karena masih tahap pembersihan sisa abu Merapi.
Perjalanan ke Borobudur kami awali dengan menumpang naik Bus Trans Jogja dan dilanjutkan menumpang bus lain di terminal Jombar untuk selanjutnya ke kawasan candi Borobudur. Meskipun sisa-sisa abu merapi masih nampak jelas sepanjang jalan  menuju candi, namun semakin menambah semarak kami dalam perjalanan ini.

Sore hari setelah mengunjungi kawasan candi Borobudur, perjalanan kami lanjutkan dengan mengunjungi pasar Biringharjo di kawasan Malioboro sembari hunting oleh-oleh, kamipun menghabiskan sisa malam tersebut di Malioboro sembari menunggu mobil yang akan mengantar kami ke Surabaya untuk balik kembali ke Makassar keesokan harinya.
Sekitar Pukul 22.30 WIB, kamipun meninggalkan Jogja menuju kembali ke Surabaya. Perjalanan malam hari itu dari Yogyakarta ke Surabaya sekitar 8 jam, membuat kami melepas lelah sepanjang perjalanan di atas mobil. Dan setibanya di Surabaya, kami langsung menuju ke Bandara Juanda untuk mengejar pesawat yang akan menerbangkan kami kembali ke Makassar pada pukul 10.30 waktu setempat. Perjalanan selama lima hari yang cukup melelahkan tubuh, namun mampu menyegarkan jiwa. Kamipun kembali ke kandang masing-masing di Makassar,he..he.. dan kembali memulai rutinitas dan aktifitas kami lagi sehari-hari.
==============
Buat Mas Bondan dan Na’ima serta Mas Ozy dan Yayuk.. Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair! Selamat berbahagia,ces…       

Sang Guru, “Sang Murabbi” dan “3 Idiot’s”


Kalau menginginkan kemakmuran satu tahun, tanamlah gandum. Kalau menginginkan kemakmuran sepuluh tahun, tanamlah pohon. Kalau menginginkan kemakmuran seratus tahun, kembangkanlah orang”. (pepatah Cina).

Tanggal 25 November 2010, Indonesia memperingatinya sebagai hari guru. Bicara tentang guru, kita pasti akan teringat akan sosok yang mengajari kita tentang segala hal dalam ilmu pengetahuan, sosok yang membimbing kita akan arti kehidupan ini dan dapat dikatakan juga sebagai orang tua kedua bagi kita, sosok ini jugalah yang merawat dan berperan dalam perkembangan kita sebagai seorang manusia.

25 November yang diperingati sebagai hari guru nasional hendaklah bukan saja dilihat sekedar dalam bentuk seremonial semata, namun momentum ini hendaknya menjadi nilai dalam melihat eksistensi guru terhadap perkembangannya dalam memanusiakan manusia. Bukan cuma sekedar raihan dan berlomba dalam perolehan sertifikasi guru saja yang berpengaruh terhadap besaran jumlah tunjangan namun hendaknya juga dibarengi dengan tanpa melupakan kualitas dalam menciptakan manusia terdidik otak dan imannya.

Sosok seorang guru juga mengingatkan saya ketika menonton film “Sang Murabbi” sebuah film yang menggambarkan sosok Syaikut Tarbiyah, Ust.Rahmat Abdullah dimana dengan semangat dakwahnya yang menggebu-gebu rela melakukan perjalanan jauh dalam memberikan tarbiyah kepada umat meskipun beberapa cacian,tuduhan dan sangkaan sering dia terima bahkan beberapa kali terpaksa tarbiyah yang dipimpinnya harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun dengan rasa keikhlasan dan rasa cintanya serta semangat perjuangannya dalam agama ini semua itu bukan halangan baginya,bahkan dengan lantangnya dia mengatakan “Seonggok kemanusiaan terkapar, siapa yang mengaku bertanggungjawab? Bila semua menghindar, biarlah saya yang menanggungnya, semua atau sebagiannya.”

Sang murabbi dalam film tersebut menampilkan sosok guru yang dengan ikhlasnya rela memberikan pencerahan dan membimbing umatnya dalam memberikan ilmu. Sosok yang perlu menjadi bahan renungan dan perhatian juga bagi kita terhadap momentum hari guru ini bahwa ternyata masih banyak guru-guru yang dengan keikhlasannya masih mempunyai semangat dan rasa tanggung jawab terhadap profesinya. Suatu hal yang perlu menjadi perhatian juga terhadap kesejahteraan mereka apalagi yang rela berjuang untuk mengajar ke daerah-daerah terpencil demi memberikan ilmu dan semua itu mereka lakukan atas dasar keikhlasan tanpa mengharap balasan.

Disamping itu, ketika saya menonton film “3 Idiot’s” sosok guru juga mengajarkan kita terhadap perannya dalam pembentukan suatu pola pendidikan. Ada suatu ungkapan yang menarik dari dialog dalam film tersebut yaitu : "Hidup adalah sebuah perlombaan, jika Anda tidak cukup cepat, maka Anda akan diinjak-injak," begitulah pesan rektor Viru Sahastrabudhhe (boman Irani) saat menyambut para mahasiswa baru di kampus ICE. Sebegitu besarnyakah suatu persaingan dalam hidup. Sehingga, bila kita tertinggal maka kita ibarat sampah yang siap dilempar dan diinjak-injak kapan saja. Maka tidaklah mengherankan kalau zaman sekarang semuanya musti diukur dan dituntut dari segi nilai bukannya berdasarkan ilmu. Miris memang kalau kita melihat sisitem pendidikan kita seperti itu, namun kalau kita bisa mengubah pola itu dengan menjadikan pendidikan sebagai ajang untuk mencari ilmu bukan hanya mencari nilai atau peringkat semata maka hidup bisa sebagai ajang bersama-sama menciptakan sang pemenang.

Banyak yang bilang film ini bagus, dan memang banyak sekali hal positif yang bisa kita petik dari film ini. Salah satunya adalah quote yang satu ini: “Follow excellent then money will follow you”. Intinya jangan bercita-cita untuk menjadi sukses tapi bercita-citalah menjadi yang terbaik. Quote lainnya yang bisa dipetik adalah: “Make your passion as your profession”. Mungkin banyak juga orang diluar sana yang berhasil mewujudkan mimpinya sebagai profesinya dan itu semua dilakukan melalui perjuangan untuk mewujudkan impiannya itu. Namun, yang paling utama adalah bagaimana peran guru dalam mengarahkan dan mewujudkan impian-impian itu. Impian yang pasti ada dalam diri setiap manusia untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik kedepannya…
Ada ungkapan yang mengatakan : bukankah setiap orang itu adalah guru dan setiap tempat itu adalah sekolah…

==============================
Selamat Hari Guru tgl 25 November, ditunggu traktirannya ya.. he..he..

“Emak Ingin Naik Haji”, cerita Pak Asep dan Amanah Sosialnya


Menonton film “Emak Ingin Naik Haji” saya seolah merasakan suatu realitas kehidupan yang tidak jauh dari kehidupan sekitar kita, tentang nilai keikhlasan dan pengorbanan dalam beribadha. Menyajikan sebuah drama yang diangkat dari cerita pendek karya Asma Nadia yang tentunya lebih realistis dan menyayat hati ini, membuat kita merasakan begitu besarnya nikmat-Nya.

Film ini menceritakan tentang seorang Ibu yang ingin sekali menunaikan salah satu kewajiban dalam rukun Islam yang ke-5 yaitu naik haji bagi yang mampu, sayangnya sang Ibu ini hanyalah seorang penjual kue, sedangkan sang anak hanyalah seorang penjual lukisan dijalan dan sangat ingin mewujudkan impian sang bunda. Disamping itu, tetangga emak yang kaya raya sudah beberapa kali menunaikan haji, apalagi pergi umroh. Di tempat lain ada orang berniat menunaikan haji hanya untuk kepentingan politik. "Emak pengin naik haji Zein.Ingin", itulah salah satu sepenggal kalimat emak (Aty Kanser) saat berbincang dengan anaknya, Zein (Reza Rahadian) dalam dialog di film tersebut, menurut saya simpel namun mengena. Tak banyak derai tangis diumbar atau teriak kemarahan, namun yang pasti setiap adegan dan dialognya amat menyentuh hati. Simpel, bahwa di lubuk hati seseorang pasti ada keinginan untuk menunaikan ibadah haji.

Namun yang paling patut diacungi jempol adalah chemistry yang terbangun antara tokoh Emak dan Zein. Sejak adegan pertama ketika mereka berdua menunaikan ibadah sholat subuh berjamaah, saya merasa seperti bukan menonton film. Keduanya begitu nyata menghadirkan aura kasih sayang antara ibu dan anak,dan tentunya tidak 'lebay'. Perasaan sakit hati seorang anak ketika uang emaknya yang sudah ditabung bertahun-tahun demi mewujudkan mimpi naik haji malah digunakan untuk bayar hutang oleh mantan menantunya, atau kebahagiaan saat impian menghajikan sang bunda nyaris tercapai tercermin dengan mantap. Jujur, saya terharu menyaksikan adegan-adegan yang mereka mainkan. Teringat ibu? Mungkin. Yang pasti Reza dan Aty Kanser, seperti bukan berakting.

Film yang berkisah tentang ketulusan hati dan kerinduan kepada Tuhan, serta kecintaan luar biasa seorang anak kepada ibunya ini patut diacungi jempol kemasan ceritanya. Dialog-dialog yang sangat terasa membumi tidak 'lebay' atau terlalu rapi seperti film pada umumnya. Tak lupa ketelitian sang sutradara Aditya Gumay dalam menempatkan scene demi scene yang mampu membangun emosi. Amat menyentuh, mulai dari adegan yang tunjukan dengan susahnya cari duit, trus kenyataan-kenyataan pahit hingga alur klimak yang tentunya membuat emosi bakal naik turun, meski sang emak sedang kesusahan, dan keinginan untuk naik hajinya tinggi, dia masih rela untuk menyerahkan sisa uangnya yang tak seberapa untuk menolong tetangganya yang sakit. Masya Allah.!!!, dan adegan yang paling mantab adalah ketika sang emak berjalan dengan anak lelakinya ke sebuah pantai, dan dia bilang kalau misalnya dia di jemput terlebih dahulu sebelum pergi ke Mekkah, "Allah sudah tahu kalau hatinya sudah terlebih dahulu di Mekkah"..Sumpah!!!, terharu sy..

Ketulusan dan keikhlasan sang emak dalam film tersebut mengingatkan saya pada suatu cerita yang saya dapatkan di sebuah blog, mengutip dari Buku Happy Ending Full Barokah (Daiambil dari Majalah Hidayatullah), tentang kegigihan seorang Bapak bernama Asep, yang sehari-harinya bekerja dengan membuka sebuah toko kecil disebuah jalan di kota Bandung demi menghidupi keluarganya. Pak Asep, menabung sedikit demi sedikit untuk mewujudkan impiannya berhaji. Namun, ketika uang yang terkumpul telah cukup untuk pergi berhaji salah seorang sahabatnya, Kang Endi menderita penyakit yang cukup serius dan membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedkit. Mendengar kabar tersebut, Pak Asep pun berinisiatif untuk memberikan bantuan kepada sahabatnya itu, dan tidak tanggung-tanggung seluruh biaya pengobatan yang ditanggung sang bapak itu sebanding dengan uang yang telah dia kumpulkan bersusah payah untuk behaji. Batal lah pak Asep untuk berangkat berhaji.

Ketika Kang Endi akan dioperasi. Sebelum dioperasi, dokter yang menangani Kang Endi berbincang dengan keluarga. “Doakan ya agar operasi berjalan lancar dan semoga Kang Endi lekas sembuh! Kalau boleh tahu…, darimana dana operasi ini didapat?” Dokter mencetuskan pertanyaan tersebut, karena ia tahu bahwa keluarga tersebut tidak mampu menyediakan dananya.

Istri Kang Endi menjawab, “Ada seorang tetangga kami bernama pak Asep yang membantu, Alhamdulillah dananya bisa didapat, Dok!” “Memangnya, beliau usaha apa? Kok mau membantu dana hingga sebesar itu?” Dibenak dokter, pastilah pak Asep adalah seorang pengusaha sukses. “Dia hanya punya usaha toko kecil di dekat rumah kami. Saya saja sempat bingung saat dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar itu!” Istri Kang Endi menambahkan.

Di dalam hati, dokter kagum dengan pengorbanan pak Asep dan istrinya. Hatinya mulai tergerak dan berkata,”Seorang pak Asep yang hanya punya toko kecil saja mampu membantu saudaranya. Kamu yang seorang dokter spesialis dan kaya raya, tidak tergerak untuk membantu sesama.” Suara hati itu terus membekas dalam dada pak dokter. Pembicaraan itu usai, dan dokter pun masuk ke ruang operasi.

Alhamdulillah operasi berjalan sukses dan lancar. Ia memakan waktu hingga 4 jam lebih. Seluruh keluarga termasuk dokter dan perawat yang menangani merasa gembira. Kang Endi tinggal menjalani masa penyembuhan pasca operasi. Pak Asep masih sering menjenguknya.

Suatu hari kebetulan pak dokter sedang memeriksa kondisi Kang Endi dan pak Asep pun sedang berada di sana. Keduanya pun berkenalan. Pak dokter memuji keluasan hati pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan pujian itu kepada Pemiliknya, yaitu Allah SWT. Hingga akhirnya, pak dokter meminta alamat rumah pak Asep secara tiba-tiba.

Beberapa minggu setelah Kang Endi pulang dari rumah sakit. Malam itu, Pak Asep dan istrinya tengah berada di rumahnya. Toko belum lagi ditutup, tiba-tiba ada sebuah mobil sedan hitam diparkir di luar pagar rumah. Nampak ada sepasang pria dan wanita turun dari mobil tersebut. Cahaya lampu tak mampu menyorot wajah keduanya yang kini datang mengarah ke rumah pak Asep.

Begitu mendekat, tahulah pak Asep bahwa pria yang datang adalah pak dokter yang pernah merawat sahabatnya kemarin. Gemuruh suasana hati pak Asep. Ia terlihat kikuk saat menerima kehadiran pak dokter bersama istrinya. Terus terang, seumur hidup, pak Asep belum pernah menerima tamu agung seperti malam ini.

Maka dokter dan istrinya dipersilakan masuk. Setelah disuguhi sajian ala kadarnya, maka mereka berempat terlibat dalam pembicaraan hangat. Tidak lama pembicaraan kedua keluarga itu berlangsung. Hingga saat pak Asep menanyakan maksud kedatangan pak dokter dan istri. Maka pak dokter menjawab bahwa ia datang hanya untuk bersilaturrahmi kepada pak Asep dan istri. Pak dokter menyatakan bahwa ia terharu dengan pengorbanan pak Asep dan istri yang telah rela membantu tetangganya yang sakit dan memerlukan dana cukup besar. Ia datang bersilaturrahmi ke rumah pak Asep hanya untuk mengetahui kondisi pak Asep dan belajar cara ikhlas membantu orang lain yang sulit ditemukan di bangku kuliah. Semua kalimat yang diucapkan oleh pak dokter dielak oleh pak Asep dengan bahasa yang selalu merendah.

Tiba saat pak dokter berujar, “Pak Asep dan ibu…., saya dan istri berniat untuk melakukan haji tahun depan. Saya mohon doa bapak dan ibu agar perjalanan kami dimudahkan Allah Swt… Saya yakin doa orang-orang shaleh seperti bapak dan ibu akan dikabul oleh Allah…”
Baik Asep dan istrinya menjawab serentak dengan kalimat, “Amien…!”

Pak dokter menambahkan, “Selain itu, biar doa bapak dan ibu semakin dikabul oleh Allah untuk saya dan istri, ada baiknya bila bapak dan ibu berdoanya di tempat-tempat mustajab di kota suci Mekkah dan Madinah…”. Kalimat yang diucapkan pak dokter kali ini sama-sama membuat bingung pak Asep dan istrinya sehingga membuat mereka berani menanyakan, “Maksud pak dokter….?”. “Ehm…, maksud saya, izinkan saya dan istri mengajak bapak dan ibu Asep untuk berhaji bersama kami dan berdoa di sana sehingga Allah akan mengabulkan doa kita semua!”

Kalimat itu berakhir menunggu jawaban. Sementara jawaban yang ditunggu tidak kunjung datang hingga air mata keharuan menetes di pipi Asep dan istrinya secara bersamaan. Beberapa menit keharuan meliputi atmosfir ruang tamu sederhana milik Pak Asep. Seolah bagai rahmat Tuhan yang turun menyirami ruh para hamba-Nya yang senantiasa mencari keridhaan Tuhan. Asep dan istrinya hanya mampu mengucapkan terima kasih berulang-ulang.

Usai pak dokter pulang, keduanya tersungkur sujud mencium tanah tanda rasa syukur yang mendalam mereka sampaikan kepada Allah Yang Maha Pemurah. Akhirnya, mereka berempat pun menjalankan haji di Baitullah demi mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla.
    
Kisah sang emak dalam film tersebut dan pak Asep dalam cerita diatas, menunjukkan kualitas tentang keikhlasan ibadah seorang hamba, merekalah orang-orang yang berhak mendapatkan gelar mabrur sebelum berhaji. Ibadah yang tidak peduli simbol-simbol budaya kosmetik dan yang mengindividu, melainkan sebuah dorongan murni peningkatan kualitas kemanusiaan  seseorang baik secara individu maupun sosial. Inilah hasil dari pendidikan suatu  ibadah. Ibadah yang dilakukan dari hati (al-niyyat) turun ke praktik fisik secara lahir (manasik), kemudian menjelma menjadi sebentuk sikap sosio-relijius (al-Taqwa).

Inilah nilai dari pengorbanan sesungguhnya, momentum untuk introspeksi dan evaluasi dalam belajar berkorban, ikhlas, sabar dan istiqomah, bukan cuma sekedar raihan gelar haji semata apalagi sekedar untuk kepentingan berfoya-foya dan gengsi. Dan, sebagai rukun terakhir bagi kesempurnaan seseorang Muslim, ibadah haji menjadi titik untuk mempertemukan sinergisasi keduanya; kewajiban  individual sekaligus amanah sosial. Inilah haji mabrur yang maqbul yang pahalanya Insya Allah diterima disisi Allah SWT.
==================================
Met Idul Adha 1431 H, Mohon Maaf Lahir & Bathin.. Qurban atau Korban??.