Li Wei Memohon Potongan Pajak (antara hikmah: keadilan dan kesederhanaan dalam prosesnya)


Ada satu masa di zaman Dinasti Ming, kekeringan melanda seluruh negeri. Hujan sama sekali tidak pernah turun, semua ladang mengalami gagal panen yang luar biasa hebat dampaknya. Akan tetapi, pemerintah tetap menarik pajak dengan jumlah seperti biasa dan tidak peduli dengan rakyat yang sudah terimpit dan bertambah susah.

Sehubungan dengan hal itu, rakyat berembuk dan mengutus beberapa orang tua untuk mewakili mereka memohon keringanan pajak pada tahun tersebut dengan pertimbangan kekeringan sedang melanda. Para orang tua itu pun berangkat ke kota guna menemui pihak pemerintah.

Sesampainya di kantor pemerintahan, kepala daerah bertanya kepada mereka, “Bagaimana dengan panen tahun ini, nanti kita coba lihat berapa banyak pajak yang harus kalian bayar. Setiap satu ton, ada pajak yang harus dibayar!”

Orang tua yang mewakili rakyat itupun menjawab, “Desa Han Cuma menghasilkan enam kuintal (600 kg) dan Desa Shui  Cuma menghasilkan empat kuintal (400 kg).”

Kepala daerah tahu bahwa aturan satu ton (1000 kg) itu untuk tiap desa, dan bukan dijumlah dari hasil kedua desa. Namun, karena ia melihat orang tua yang mewakili rakyat itu tampak tidak terlalu pintar, maka ia sudah berikhtiar untuk mendapat keuntungan dari kebodohan rakyatnya.

“Desa Han menghasilkan 600 kg dan Desa Shui menghasilkan 400 kg, bukankah jumlahnya sudah 1 ton dan itu berarti kalian harus membayar pajak! Tidak akan ada pemotongan pajak sedikit pun, apalagi memberi pembebasan pajak! Jika kalian berani berkata macam-macam setelah ini, itu akan dihitung sebagai pelanggaran berat!” ujar kepala daerah itu.

Beberapa orang tua itupun pulang ke desa. Di desa sudah banyak orang yang berkumpul dan mereka menjadi kecewa karena kepala daerah benar-benar hanya peduli pada dirinya sendiri dan tidak peduli pada penderitaan rakyatnya. Mereka merasa jika harus membayar pajak yang tidak seharusnya, hidup mereka akan bertambah susah.

Mereka ribut membicarakan keputusan kepala daerah itu sampai tiba-tiba seorang anak yang berumur 10 tahun, Li Wei, berkata dengan suara nyaring, “Besok saya akan pergi menjumpai kepala daerah dan memohon pembebasan pajak untuk tahun ini, ia harus mengerti bahwa kita semua sudah susah dan menderita karena panen jauh lebih sedikit dari biasanya.”

Orang tua yang baru mewakili rakyat pun berkata kepadanya, “Li Wei kamu masih kecil, mau bilang apa pada kepala daerah? Kamu pikir kamu bisa memengaruhi kepala daerah lebih daripada kami yang sudah tua dan berpengalaman ini?”

Li Wei sama sekali tidak tersinggung. Lalu ia berkata lagi, “Kalau begitu besok seseorang dari kalian mengikuti saya dari belakang dan biarlah pada kesempatan ini saya yang bicara pada kepala daerah, toh kalian sudah gagal berbicara padanya.”

Keesokan harinya Li Wei dan seorang wakil rakyat tiba dihadapan kepala daerah. Li Wei maju dan berlutut dihadapan kepala daerah itu. Kepala daerah itu berkata kepada Li Wei, “Hai anak kecil, datang kehadapan saya mau bicara apa? Sekarang sudah umur berapa?”. Li Wei pun berkata, “Sekarang hambamu ini sudah berumur 72 tahun!”

Kepala daerah itu sambil tertawa sinis berkata, “Anak sekecil kamu bagaimana mungkin sudah berumur 72 tahun. Wah, selera humormu tinggi juga, ya.”

Li Wei pun berkata serius, “Saya tidak bercanda dan tidak punya selera humor yang tingi. Saya berumur 10 tahun dan kakek di belakang saya ini sudah berumur 62 tahun. Jika dijumlahkan maka benar bahwa saya sudah berumur 72 tahun.”

Kepala daerah itu pun berkata lagi, “Umur pastilah umur dari satu orang, kenapa kamu bisa menjumlahkan seperti itu dan menganggap jumlah tersebut adalah umurmu?”

Li Wei pun berkata dengan lebih serius, “Nah, kalau begitu Desa Han dan Desa Shui adalah dua desa yang berbeda. Mengapa hasil dua desa itu dijumlahkan dengan cara begitu. Bukankah peraturannya jika sebuah desa bisa panen 1000 kg atau lebih maka akan dikenai pajak dan jika belum tidak dikenai pajak. Dua desa itu tidak menghasilkan panen sampai 1000 kg lalu mengapa tetap harus membayar pajak dengan menjumlahkan hasil panen dua desa?”

Kepala daerah itu pun terdiam dan berkata singkat, “Saya putuskan Desa Han dan Desa Shui tidak perlu membayar pajak tahun ini!”

Ada mutiara hikmat yang bisa didapat dari Cerita diatas, tentang makna keadilan dan makna hikmat itu sendiri. Hikmat yang tidak tergantung dari banyaknya umur dan banyaknya pengalaman. Orang yang banyak pengalaman mungkin sekali bisa memperoleh banyak hikmat, tetapi itu bukan jaminan karena orang muda pun bisa memiliki hikmat. Oleh karena itu hikmat itu harus dikejar dan jangan menganggap bahwa  seseorang tidak berhikmat karena usianya yang muda.

Disamping itu,  salah satu aspek yang tidak kalah penting dari cerita diatas adalah tentang keadilan. Memang agak sulit untuk merumuskan pengertian adil. Tapi setidaknya aspek keadilan itu bisa kita rasakan dalam implementasinya dan kesederhanaan (baca:kemudahan) dalam prosesnya, apalagi bicara tentang hak dan kewajiban. Dalam hal pajak penghasilan misalnya, keadilan itu mungkin dapat dirasakan oleh kita dalam implementasinya pada penerapan tarif progresif, adanya PTKP, adanya deductible dan non deductible expense dan adanya penyusutan fiskal. Namun, sayangnya asas kesederhanaan dan asas keadilan ini kadangkala tidak sejalan dan kadang bertentangan. Jika pajak dibuat sederhana kadangkala aspek keadilan akan terabaikan. Sebaliknya, jika aspek keadilan yang diutamakan maka aspek kesederhanaan akan terabaikan.

Contoh sederhananya mungkin seperti ini : bila pajak penghasilan ingin dibuat mudah maka dibuat saja ketentuan bahwa “setiap penghasilan yang diterima oleh masyarakat dikenakan pajak 10%”. Simpel bukan?, tidak melihat apapun penghasilannnya, darimana sumbernya, maka pajak penghasilannya 10% dari penghasilan. Siapapun bisa menghitungnya tak perlu ada kursus pajak,tak perlu ada mata kuliah pajak,bahkan tak perlu banyak pegawai  pajak untuk mengawasinya.kondisi diatas memang implementasi pajak penghasilan yang amat sederhana. Tapi jelas kondisi itu tak adil. Tentu harus dibedakan siapa penerimanya. Orang miskin atau orang kaya kah dia. Tarifnya pun tidak semestinya sama antara orang berpenghasilan rendah dengan orang berpenghasilan tinggi. Penghasilan aktif dan penghasilan pasif pun seharusnya dibedakan tarifnya. Untuk lebih adil lagi tentu harus diperhitungkan adanya biaya-biaya karena mungkin saja ada orang mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dari penghasilannya. Untuk melindungi kelas bawah pun semestinya ada batas yang tidak dikenakan pajak.

Nah, mungkin sekarang kita bisa membayangkan, mengapa aturan pajak itu sulit.. hmm, mungkin itu juga ya hikmah nya… 
=========================

Referensi :
Lei Wei Ye. 101 kisah bermakna dari negeri China “The Powerfull Wisdom From Ancient Stories”.
Blog pajak Indonesia. http://dudiwahyudi.com/

0 komentar: